Mobil bus besar yang kami tumpangi melaju kencang di
jalan yang semakin melebar, kami telah tiba di Sulawesi Barat. Ruas jalannya
cukup luas, karena luas maka sopir bus memacu semakin kencang laju bus yang
sebagian besar penumpangnya adalah mahasiswa-mahasiswi dari kota Palu Sulawesi
Tengah. Tiba-tiba, sebuah mobil kecil tak terlihat oleh jangkauan jendela bus
yang tinggi. “Brak!”, mobil kecil itu menyenggol badan bus bagian tengah yang
tentu saja membuat lari bus menjadi tidak stabil beberapa detik. Beruntung
sopir bus yang kami tumpangi dengan sigap membuat kendaraan kembali stabil lalu
memutuskan untuk mengejar mobil kecil yang menyenggol tadi. Mobil kecil itu
adalah mobil boks berwarna hitam, sekarang mobil itu menepi lalu bus kami ikut
menepi tepat didepannya. Aku melihat sopir mobil boks kecil itu turun dan
tampak emosi, ia saja emosi, lalu bagaimana kami yang merupakan korban? Sopir
bus kami dan beberapa kernet nya juga bersiap-siap turun dan tampak emosi. Kami
yang masih berstatus mahasiswa segera mengenakan almamater biru kebanggaan kami
dan siap untuk turun sambil menahan sedikit gejolak emosi juga. Bagaimana kami
para penghuni bus besar ini tidak emosi, baru saja tadi malam kami mengalami
insiden juga. Semalam kaca jendela bus kami tembus dilempari batu besar, tak
tanggung-tanggung, batu itu melesat menembus dua kaca jendela bus bagian
belakang. Kaca jendela bus bagian belakang di sisi kiri dan kanan tentu saja
menandakan bahwa batu yang dihempaskan ke bus memang ada unsur kesengajaan. Dan
lebih parahnya lagi kejadian itu berlangsung di tengah malam, hampir saja batu
tersebut mengenai salah seorang mahasiswi kami bernama Sundari. Sundari
kebetulan duduk berdampingan dengan Cici. Sopir bus dan beberapa kernet bus
yang terlanjur emosi segera mengambil parang besar lalu mencoba mengejar pelaku
yang melempar bus kami semalam. Namun sang pelaku tidak ditemukan dan kami
tetap melanjutkan perjalanan. Setelah semalam mengalami insiden, kini siang
harinya bus kami disenggol oleh mobil boks kecil berwarna hitam.

Kami
para mahasiswa dari Universitas Pemuda di Sulawesi Tengah telah menggunakan
almamater biru dan bersiap untuk turun, sengaja kami belum turun untuk melihat
bagaimana sopir bus bertemu dengan sopir mobil boks kecil berwarna hitam.
Melihat reaksi sopir mobil boks kecil yang tampaknya tidak terima disalahkan
dan malah menyalahkan, kami segerombolan mahasiswa beralmamater biru pun turun
dari bus diikuti oleh penumpang laki-laki yang lain lalu berjalan dengan
langkah yang tegas sambal menahan emosi lalu mengerumuni mobil boks kecil
berwarna hitam. Segera setelah melihat jumlah kami sopir mobil boks kecil
berwarna hitam tampak melunak dan nada bicara yang tadinya tinggi kemudian
menjadi tampak gemetar.
“Sabar Pak, semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Saya tidak berani melawan pak,
dan saya mengaku salah.”
“Nah, begitu dong pak, Bapak yang menabrak maka
bapak yang mengaku salah. Mari kita bicarakan ini baik-baik lalu kita laporkan
ke pihak yang berwenang agar adil dalam penyelesaiannya.”
Beruntung sopir bus kami mampu meredam amarahnya dan
mau memberi kami kode untuk kembali ke dalam bus sambil tersenyum dan tampak
mengerlingkan matanya kepada kami para mahasiswa. Kejadian tak terduga ini
segera diselesaikan di pos polisi lalu lintas terdekat, tentu saja mobil boks
kecil berwarna hitam itu harus ganti rugi kerusakkan bus yang kami tumpangi. Dua insiden, yaitu insiden pelemparan batu
semalam dan penabrakan tadi siang cukup membuat diriku terkejut karena ini pertama
kalinya. Namaku Muflih, mahasiswa baru Universitas Pemuda di Sulawesi Tengah. Aku
terpilih sebagai salah satu perwakilan dari lembaga kemahasiswaan untuk
menghadiri sebuah pertemuan besar mahasiswa-mahasiswi muslim bertempat di salah
satu kampus besar di Indonesia Timur. Aku satu-satunya mahasiswa baru yang
terpilih di fakultas ekonomi Universitas Pemuda untuk bersama-sama para
pengurus lembaga kemahasiswaan lainnya menghadiri pertemuan nasional tersebut.
Seluruh perwakilan dari Universitas Pemuda Sulawesi Tengah disubsidi oleh pihak
kampus untuk biaya transportasi dan registrasi acara sebesar 50%. Jadi para
mahasiswa-mahasiswi perwakilan Universitas Pemuda Sulawesi Tengah ini harus
menggunakan biaya pribadi 50% untuk hadir di pertemuan nasional tersebut. Bisa
dibilang para mahasiswa-mahasiswi perwakilan ini harus berjuang untuk mencukupi
biaya transportasi dan registrasinya nanti. Sehingga rute yang dipilih adalah
rute yang paling hemat dan terjangkau kantong mahasiswa.
Rute
yang pertama ditempuh adalah perjalanan darat dari kota Palu menuju kota
Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Perjalanan darat yang paling
cepat adalah menyewa bus, total mahasiwa-mahasiswi yang berangkat dari Palu
adalah 17 orang, maka bus yang berkapasitas 33 orang pun didominasi oleh para
mahasiswa-mahasiswi. Aku yang berada di dalam rombongan ini merasa bahwa
seolah-olah kami para mahasiswalah yang menyewa seluruh bus ini. Beruntung
sopir dan kernet bus cukup korporatif dengan mahasiswa sehingga ketika tiba
waktu salat bus berhenti sejenak. Perjalanan dari kota Palu menuju Makassar
melewati Donggala, sengaja kami memilih bus dengan rute tersebut karena
jalanannya cukup bagus dan tidak terlalu banyak tikungan tajam yang ditemui. Rute
ini menyisir pantai bagian Barat Sulawesi Tengah lalu masuk ke Provinsi
Sulawesi Barat. Sebelum masuk ke Provinsi Sulawesi Barat, perjalanan kami
dihiasi dengan pemandangan laut yang begitu indah di sisi kanan bus dan
pemandangan bukit-bukit hijau di sisi kiri bus. Saat memasuki Sulawesi Barat di
malam hari kami dikejutkan oleh insiden pelemparan batu yang menembus beberapa
jendela kaca bus, Sundari dan Cici yang paling dekat dengan jendela yang pecah
juga menjadi dua orang yang paling trauma di antara kami. Syukurlah mereka
berdua tidak terluka. Ada pemandangan menarik ketika bus melintasi Provinsi
Sulawesi Barat, yaitu pemandangan bendera-bendera dari negara-negara asing. Aku
sedikit heran namun baru kemudian menyadari bahwa di tahun yang sama pada saat
pertemuan nasional yang hendak kami hadiri adalah tahun dimana piala dunia
diselenggarakan. Aku melihat bendera Inggris, Argentina, Spanyol, Brazil,
Jerman, Italia, Prancis, dan Uruguay berkibar di pagar rumah, berkibar di atap
rumah, dan dipohon-pohon yang tumbuh di depan rumah. Sebenarnya ada sedikit
rasa heran di dalam benakku, mengapa mereka dengan mudahnya mengibarkan bendera
bangsa asing di rumah-rumah mereka? Bukankah dulu para pejuang bangsa kita
berjuang agar merah putih saja yang berkibar? Tetapi pada akhirnya Aku mencoba
memandangnya dari perspektif lain, bahwa memang sekarang adalah eranya
kolaborasi. Bahkan sepakbola bisa menembus sekat-sekat geografis dan
nasionalis, berkompetisi sekaligus menghibur para penikmat sepakbola di seluruh
dunia. Aku menyimak pemandangan bendera-bendera asing ini sambal sesekali
mencuri pandang kepada Sundari yang manis itu. Ya, Sundari adalah mahasiswi
yang cukup manis bagiku. Dan Aku adalah lelaki normal yang juga tertarik pada
lawan jenis. Semenjak kejadian insiden pelemparan batu semalam Aku jadi lebih
memerhatikan dan mengkhawatirkan Sundari, sampai kemudian senyum manis terbit
di wajahnya sehingga Aku tak perlu khawatir lagi.
Sesampainya
di Makassar kami melanjutkan perjalanan menuju bandara Sultan Hasanuddin,
bandara bertaraf Internasional di Indonesia Timur. Aku sedikit mengalami culture shock karena kaget melihat gedung-gedung
tinggi, pusat-pusat perbelanjaan, dan peradaban masyarakat di Makassar. Pantas
saja banyak yang bilang Makassar adalah salah satu kota paling maju di kawasan
Indonesia Timur, meski sebenarnya Makassar masuk dalam kawasan Indonesia Tengah.
Sampai beberapa tahun kemudian Aku paham bahwa Makassar memang sedang
dipersiapkan menjadi kota dunia, terbukti dari acara-acara resminya yang
mengundang sekitar 40an walikota di negara-negara maju dan berkembang. Tujuan
kami sebenarnya adalah kota Ambon, maka dari bandara Sultan Hasanuddin kami
bertolak terbang ke kota Ambon di Indonesia Timur. Setibanya di kota Ambon, Aku
menyaksikan pemandangan yang juga sama dengan yang kusaksikan di Sulawesi
Barat. Bendera-bendera asing berkibar di pinggir pantai, tepatnya di
rumah-rumah warga yang berada di sepanjang pantai. Sungguh piala dunia saat itu
membuktikan bahwa olahraga sepakbola semakin mendunia. Tibalah kami di
Universitas Pattimura Ambon, sebuah kampus peradaban di Indonesia Timur. Kampus
yang akan mengadakan acara Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Nasional. Sebuah
pertemuan nasional yang bergengsi, menghadirkan pemateri-pemateri nasional
sampai internasional, sebuah pertemuan yang Aku bangga bisa hadir di dalamnya
mewakili kampusku, mewakili daerahku. Sebuah pertemuan yang penuh perjuangan
kami bisa hadir di dalamnya, untuk membicarakan masa depan bangsa Indonesia dan
apa yang bisa kami kontribusikan selaku mahasiswa-mahasiswi yang katanya adalah
agen perubahan. Sebuah pertemuan nasional yang mengajari kepadaku dan kepada
kami semua bahwa hidup itu adalah perjuangan. Tak ada yang instan, tak ada yang
mudah, untuk sampai ke Ambon saja kami masih harus berjuang mencukupi biaya
transportasi dan biaya registrasi bahkan sampai harus memilih rute termurah. Tak
sia-sia perjuangan kami hadir di tempat ini, di Universitas Pattimura Ambon.
Mengikuti pelatihan-pelatihan pengembangan diri, mengikuti kelas-kelas kecil,
serta menghadiri sebuah rapat besar untuk membicarakan hal-hal strategis
terkait peran mahasiswa Indonesia dalam memajukan bangsa Indonesia. Sebuah
pertemuan yang akan kukenang seumur hidupku, sebab dari sinilah Aku memulai
berorganisasi, dari pertemuan inilah untuk pertama kalinya Aku mengetahui
istilah aktivis dakwah kampus dan perannya dalam memajukan bangsa Indonesia.
Setiap kisah mempunyai pelajaran, setiap kisah sekalipun kisah itu ada hal-hal
yang buruk terjadi tetap akan membawa kebaikan dan pelajaran kepada kita.
Inilah kisahku, Muhammad Muflih dari Palu Sulawesi Tengah, seorang pemuda yang
tengah mencari jati diri dan memburu hidayah lalu menemukannya di dalam
aktivitas-aktivitas lembaga kemahasiswaan.


